Kegagalan Kabinet Wilopo Adalah

Kegagalan Kabinet Wilopo Adalah

KOMPAS.com- Perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah sudah berlangsung cukup lama sejak masa kerkerajaan.

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16 awalnya hanya untuk berdagang rempah-rempah dan disambut baik.

Namum lama-lama mereka menerapkan kolonialisme dan imperalisme yang ingin menguasai Indonesia.

Karena pada masa itu Indonesia merupakan negara penghasil rempah-rempah di dunia yang dimiliki nilai jual tinggi.

Sehingga muncul perlawanan kepada negara penjajah di berbagai daerah. Kondisi tersebut berlangsung cukup lama sebelumnya akhirya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Hanya saja perjuangan yang dilakukan di berbagai daerah mengalami kegagalan dan mampu ditaklukan.

Baca juga: Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Nasional

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebelum abad ke-20 perjuaangan dan perlawanan bangsa Indonesia masih mengalami kegagalan dalam mengusir penjajahan.

Ada beberapa beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan, yakni:

Perlawanan tersebut tidak menampakan hasilnya. Bahkan selalu gagal dan dapat diberantas oleh penjajah.

Pada waktu itu mereka berjuang bukan untuk Indonesia merdeka. Tapi bagaimana cara untuk mengusir penjajah dari daerahnya.

Sehingga mereka dengan mudah bisa diadu domba oleh penjajah. Korban pun banyak berjatuhan di pihak Indonesia.

Baca juga: Gaya Militer Turki Utsmani dalam Perang Pangeran Diponegoro

Menjelang akhir abad ke-19, kehidupan rakyat Indonesia tidak membaik. Sistem tanam paksa masih terus berjalan dan rakyat semakin menderita.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) karya Merle Calvin Ricklefs, Portugis merupakan negara pertama yang datang ke Indonesia.

Sebelum masuk Indonesia, Portugis mampu menaklukan dan menguasai Malaka pada 1509.

Dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque Portugis dapat menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511.

Setelah berhasil menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate.

Tujuan kedatangan bangsa Eropa ke kepulauan Maluku adalah untuk menguasai perdagangan rempah-rempah secara monopoli.

Setelah Portugis, kemudian Spanyol (1521), Inggris (1579), Belanda (1596), dan Jepang (1942).

Deputy Minister of Foreign Affairs AM. Fachir after received by President Jokowi, at the State Palace, Jakarta, Friday (30/1) morning.

President Joko Widodo (Jokowi) asked all heads of representatives of Indonesia abroad to be able to translate the government’s priority issues, among others, the protection of citizens, territorial integrity, and economic diplomacy.

President Jokowi submit the request to the Deputy Minister of Foreign Affairs, AM Fachir at the State Palace, Jakarta, Friday (30/1), to report on the readiness of the Work Meeting of the Foreign Ministry with all representatives of Indonesia abroad. As planned, President Jokowi will give a briefing and open work meeting that will take place in Jakarta on February 2, 2015.

“The meeting will discuss the main issues, namely sovereignty, economic diplomacy and the protection of citizens, and good government,” Fachir said.

According to AM Fachir, Jokowi President stressed that the officials of government representatives need to improve communication and coordination with relevant parties.

He said Indonesia has 118 representatives consisting of 87 embassies, 2 Permanent Mission to the UN in New York and Geneva, as well as 30 Consulate General, and the Indonesian Consulate and 64 honorary consuls.

According to AM. Fachir, Jokowi President stressed that Indonesian foreign politics remain the free and active. However, the President said, so many friends that Indonesia has, should not be detrimental to the national interest.

Fachir affirmed, that the free and active intended by President Jokowi is friends with all countries, the maximum benefit should be perceived by people. “Not a lot of friends but harm,” Fachir said quoting President Jokowi.

The Deputy Foreign Minister also said that Indonesia should also be understand the current global economic. This meant that the direction of the global economy that followed was not mistaken. “Although in the end the national interests should come first, but we should be know the direction the wind blows,” Fachir said. (WID/Humas Setkab/ES)

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Watch this video and more on Durioo+